Menu Posting

Minggu, 08 Februari 2015

(ARTIKEL) Iman Kepada Qadha dan Qadar



Ditulis oleh: Muliadi Abd
     Mahasiswa Prodi Ilmu A-Qur'an dan Tafsir (Tafsir dan Hadis), Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry.

A.    Pengertian Iman
Pengertian  iman adalah percaya, sedangkan menurut istilah iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan atau perbuatan. Sebagaimana dengan firman Allah swt yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS: An-Nisa’ 136).[1]

B.      Pengertian Qadha Dan Qadar
Pengertian Qadha merujuk kepada Surah Ali-‘Imran Ayat 47 yang artinya:  “Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.”[2] 

Menurut Abu Hasan Al-‘Asy’ari, berliau berpendapat bahwa Qadha ialah, kehendak Allah swt. Mengenai segala hal dan keadaan, kebaikan dan keburukan, yang sesuai dengan apa yang akan diciptakan dan tidak akan berubah-ubah sampai terwujudnya.

Pengertian Qadar merujuk kepada Surah Al-Qamar Ayat 49 yang artinya: Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.

Makna Qadar pada ayat di atas diperselisihkan maknanya Oleh para ulama, dari segi bahasa kata Qadar berarti kadar tertentu yang tidak bertambah maupun berkurang, atau berarti kuasa.
Kemudian ayat tersebut dikarenakan berbicara tentang segala sesuatu yang berada dalam kuasa Allah, maka akan lebih tepat memahaminya dalam arti ketentuan dan sistem yang ditetapkan terhadap segala sesuatu. Dan ayat tersebut lebih menjelaskan salah satu ketentuan Allah menyangkut takdir dan pengaturan-Nya terhadap makhluk.[3]

Kemudian juga berkenaan dengan asbabun nuzul ayat tersebut, Sufyan menceritakan dari Ziyad bin Ismail Al-Makhzumi, dari Muhammad bin Ja’far, dari Abu Hurairah, ia bercerita, orang-orang musyrik dari kaum Quraisy pernah datang kepada Rasulullah saw. Seraya berbantah-bantahan mengenai masalah takdir, lalu turunlah ayat tersebut.[4]

C.    Hubungan Qadha dan Qadar
Menurut Imam Asy’ari hubungan qadha dan qadar merupakan satu kesatuan, dikarenakan qadha merupakan kehendak Allah swt. Sedangkan qadar merupakan wujud dari qadha atau kehendak tersebut. Maksudnya ialah qadha merupakan kehendak dari Allah swt seperti hidup dan matinya makhluk, sedangkan wujudnya ialah apa yang kita rasakan atau yang kita lihat saat ini seperti hidup dan matinya  makhluk hidup.

Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah Al-Ahzab Ayat 38 yang artinya: “Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku”

Potongan ayat di atas “dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” merupakan jelas bahwa suatu ketetapan atau suatu kehendak Allah itu pasti terjadi.

D.    Cakupan Iman kepada Qadar
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa takdir itu sama sekali tidak mengandung suatu hal yang buruk, bagaimanapun bentuknya.[5] Dan bagi kita sebagai orang islam wajib mengimani akan hal tersebut dikarenakan bila kita tidak mengimani qadha dan qadar berarti kita tidak mengimani adanya Allah swt, dikerenakan semua yang telah digariskan Allah kepada kita atau yang disebut dengan qadha pasti akan terjadi. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Furqan Ayat 2 yang artinya:  “yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”

Maksudnya ayat di atas ialah segala sesuatu yang dijadikan Tuhan diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan persiapan-persiapan, sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya masing-masing dalam hidup.

E.     Perubahan Suatu Takdir
Merujuk kepada Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan. yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Maksud ayat di atas ialah  bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.

Menurut thaba’ thabai memahami potongan ayat di atas bahwa, seluruh totalitas[6] manusia yakni seluruh arah yang mengelilingi jasmaninya sepanjang hayatnya, dan tercakup juga fase kehidupan kejiwaannya yang di alaminya itu atas kehendak Allah. Akan tetapi Allah tidak pernah mencampuri suatu hal dari manusia itu sendiri dikarenakan Allah tidak akan merobah keadaan suatu orang atau kaum, selama mereka tidak merobah sesuatu hal yang mereka tidak kehendaki.

Potongan ayat tersebut jelas juga menerangkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib atau takdir suatu kaum, sebelum kaum itu mendahului sesuatu perubahan yang dilakukan oleh kaum tersebut menyangkut sisi perubahan yang dimaksud.[7]

Kemudian ayat tersebut juga menerangkan bahwa manusia juga diwajibkan untuk berusaha dalam mengubah suatu takdir yang dapat dirubah, seperti orang miskin yang harus berusaha untuk merubah keadaan sosialnya menjadi orang kaya. Kecuali takdir yang tidak dapat diubah seperti ketetapan kapan dan di mana seseorang akan lahir, berkelamin lelaki atau perempuan, serta juga kapan dan di mana seseorang itu akan meninggal.

F.     Pandangan Al-Qur’an Terhadap Orang Yang Mengingkari Takdir
Pada Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 78 menjelaskan bahwa  “di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?

Ayat tersebut menerangkan bahwa orang yang tidak mengimani takdir, maka orang tersebut dikatakan sebagai orang munafik, karena sebagaimana asbabun nuzul ayat tersebut menerangkan bahwa oarang-oarang munafik dalam bertanam, mencari rezeki, berdagang dan dalam berkeluarga baik dari sisi sanak kerabat maupun anak-anaknya mendapat kebaikan, maka mereka mengatakan bahwa semua itu datang dari Allah swt. Akan tetapi sebaliknya bila mendapat musibah atau keburukan mereka menyalahkan Nabi Muhammad saw. Sebagai penyebab datangnya musibah. Lalau allah menurunkan ayat ini sebagai penegasan bahwa musibah itu datang bukan karena Nabi Muhammad melainkan musibah itu datangnya dari allah sebagai ujian kepada hamba-hambanya.[8]
  
Kemudian merujuk kepada Firman Allah berikut ini yang artinya: apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.(QS: An-Nisa’ : 79).

Kemudian juga turun ayat di atas yang menerangkan bahwa nikmat yang mereka miliki itu datangnya dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpa meraka maka itu adalah suatu ujian maupun balasan dari kesalahan mereka sendiri.
Jadi dapat kita ambil suatu pelajaran atau hikmah dari kedua ayat tersebut ialah, bahwasanya kita sebagai orang islam wajib untuk mengimani akan takdir yang Allah berikan serta mensyukurinya, dan kita tidak boleh sekali-sekali mengingkari apa yang telah Allah kehendaki terhadap kita, bahkan kita tidak boleh menyalahkan orang lain terhadap suatu musibah yang menimpa kita karena itu merupakan perlakuan orang munafik, padahal yang pada dasarnya semua musibah itu merupakan ujian dari Allah kepada kita, maupun semua itu adalah balasan atau teguran Allah kepada kita atas kesalahan yang telah kita perbuat sendiri.

G.    Manfaat Memepelajari Tentang Iman Kepada Qadha Dan Qadar
Banyak manfaat yang terkadung dalam ayat Al-Qur’an dalam memahami iman kepada qadha dan qadar, diantaranya ialah :

1.      Terhindar dari kesesatan

Barangsiapa yang Allah sesatkan, Maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan[9] (QS: Al-A’raf : 186)

Disesatkan Allah berarti  bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah.
Oleh karena itu manfaat yang dapat kita ambil ialah kita terjauh dari kesesatan seperti orang-orang yang disebutkan dalam ayat tersebut, padahal jelas di dalam ayat Allah telah banyak dijelaskan bagaimana Allah menentukan atau menakdirkan suatu yang baik kepada makhluknya, tapi mereka ingkar terhadap takdir tersebut. Ketika Allah berikan mereka musibah mereka lebih menyalahkan orang lain sebagai penyebab kerugian yang mereka rasakan. Sehingga dengan demikian mereka tidak pernah menyadari hakikat takdir itu dan juga tidak pernah menyadari bahwa suatu musibah itu adalah ujian atau teguran dari Allah terhadap mereka.

2.      Takdir Allah Itu Baik  

dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui.(QS: Al-Ankabut : 60).[10]

Dari ayat di atas dapat kita melihat bahwa takdir Allah itu baik, berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa atau mengurus rezekinya sendiri, Allah beri jalan untuk memberi rezeki kepadanya, salah satu contohnya seperti rantai makanan yang telah Allah atur sehingga makhluk ciptaanya tidak ada yang lapar, begitu pula dengan kita sebagai manusia yang telah Allah lebihkan dari pada makhluk Allah yang lain, dengan diberikan akal untuk berfikir dan tenaga untuk bergerak, namun ketika seorang manusia itu tidak menggunakannya untuk mencari rezeki, maka orang tersebutlah yang salah karena malas untuk berbuat sesuatu, sesuai dengan penjelasan di atas yang bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, bila kaum tersebut tidak mau atau tidak berusaha untuk mengubah nasibnya.
  
3.      Dapat Membedakan Dua Jalan Yang Berbeda 

8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya(QS: Asy-syam:8-10).[11]

Maka dengan kita mengimani qadha dan qadar, maka secara tidak langsung kita telah dapat membedakan antara dua jalan yang berbeda, antaraya ialah jalan kefasikan dan jalan ketakwaan.
Seseorang yang mensucikan jiwa akhirnya akan menjadi orang yang bertakwa, sedangkan orang yang mengotorinya pasti akhirnya akan menjadi orang yang fasik. Jelas di sini hubungannya dengan takdir Allah yang jelas telah diterangkan oleh-Nya dalam penciptaan jalan kefasikan dan ketakwaan, dan semua itu tergantung kepada kita yang memilihnya.

KESIMPULAN
Iman adalah percaya, sedangkan menurut istilah iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan atau perbuatan. Qadha berarti kehendak atau suatu ketetapan bagi sesuatu, sedangkan Qadar merupakan wujud dari qadha atau kehendak tersebut.
Orang yang tidak mengimani akan takdir, maka orang tersebut dikatakan sebagai orang munafik.
 Manfaat memepelajari tentang iman kepada qadha dan qadar ialah :
1.      Terhindar dari kesesatan.
2.       Dapat mengetahui bahwa takdir Allah itu baik.
3.        Dapat membedakan dua jalan yang berbeda.
                           



[1] Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an Dan Terjemahan, (Bandung: Cv Penerbit J-Art, 2004)  hal. 100
[2] Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an Dan Terjemahan, , , hal. 56
[3] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 13, (Tanggerang: Lentera Hati, 2002), hal. 482
[4] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Qadha Dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hal. 69
[5] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Qadha Dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, , , hal. 595
[6] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 13, , , hal. 482
[7] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 6, , , hal. 569
[8] A.Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah –  An-Nas, (Jakarta : Pt Radja Grafindo Persada, 2002),  Hal 248
[9] Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an Dan Terjemahan, , , hal. 174
[10] Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an Dan Terjemahan, , , hal. 403
[11] Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an Dan Terjemahan, , , hal. 595

2 komentar: