Ditulis oleh: Muliadi Abd
Mahasiswa Prodi Ilmu A-Qur'an dan Tafsir (Tafsir dan Hadis), Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry.
A. Pengertian Iman
Pengertian iman
adalah percaya, sedangkan menurut istilah iman adalah membenarkan dengan hati,
diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan atau perbuatan.
Sebagaimana dengan firman Allah swt yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari
Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS:
An-Nisa’ 136).[1]
B. Pengertian Qadha Dan Qadar
Pengertian Qadha merujuk kepada Surah Ali-‘Imran Ayat 47 yang artinya: “Maryam
berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, Padahal aku belum
pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan
perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, Maka Allah hanya
cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah Dia.”[2]
Menurut Abu Hasan Al-‘Asy’ari, berliau berpendapat bahwa
Qadha ialah, kehendak Allah swt. Mengenai segala hal dan keadaan, kebaikan dan
keburukan, yang sesuai dengan apa yang akan diciptakan dan tidak akan
berubah-ubah sampai terwujudnya.
Pengertian Qadar merujuk kepada Surah Al-Qamar Ayat 49 yang artinya: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran."
Makna Qadar pada ayat di
atas diperselisihkan maknanya Oleh para ulama, dari segi bahasa kata Qadar berarti kadar tertentu yang
tidak bertambah maupun berkurang, atau berarti kuasa.
Kemudian ayat tersebut dikarenakan berbicara tentang
segala sesuatu yang berada dalam kuasa Allah, maka akan lebih tepat memahaminya
dalam arti ketentuan dan sistem yang ditetapkan terhadap segala sesuatu. Dan
ayat tersebut lebih menjelaskan salah satu ketentuan Allah menyangkut takdir
dan pengaturan-Nya terhadap makhluk.[3]
Kemudian juga berkenaan dengan asbabun nuzul ayat
tersebut, Sufyan menceritakan dari Ziyad bin Ismail Al-Makhzumi, dari Muhammad
bin Ja’far, dari Abu Hurairah, ia bercerita, orang-orang musyrik dari kaum
Quraisy pernah datang kepada Rasulullah saw. Seraya berbantah-bantahan mengenai
masalah takdir, lalu turunlah ayat tersebut.[4]
C. Hubungan Qadha
dan Qadar
Menurut Imam Asy’ari hubungan qadha dan qadar merupakan satu
kesatuan, dikarenakan qadha merupakan kehendak Allah swt. Sedangkan qadar
merupakan wujud dari qadha atau kehendak tersebut. Maksudnya ialah qadha
merupakan kehendak dari Allah swt seperti hidup dan matinya makhluk, sedangkan
wujudnya ialah apa yang kita rasakan atau yang kita lihat saat ini seperti
hidup dan matinya makhluk hidup.
Sebagaimana firman Allah swt dalam Surah Al-Ahzab Ayat 38 yang artinya: “Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan
Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada
nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu
ketetapan yang pasti berlaku”
Potongan ayat di atas “dan adalah
ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” merupakan jelas
bahwa suatu ketetapan atau suatu kehendak Allah itu pasti terjadi.
D. Cakupan Iman
kepada Qadar
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa takdir itu sama sekali
tidak mengandung suatu hal yang buruk, bagaimanapun bentuknya.[5]
Dan bagi kita sebagai orang islam wajib mengimani akan hal tersebut dikarenakan
bila kita tidak mengimani qadha dan qadar berarti kita tidak mengimani adanya
Allah swt, dikerenakan semua yang telah digariskan Allah kepada kita atau yang
disebut dengan qadha pasti akan terjadi. Sebagaimana firman Allah dalam Surah
Al-Furqan Ayat 2 yang artinya: “yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan
bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam
kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”
Maksudnya ayat di atas ialah segala sesuatu yang dijadikan Tuhan diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan
persiapan-persiapan, sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya
masing-masing dalam hidup.
E. Perubahan Suatu
Takdir
Merujuk kepada Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d ayat 11 yang artinya “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan. yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Maksud ayat di atas ialah bagi tiap-tiap manusia ada
beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa
Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini
ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
Menurut thaba’ thabai memahami potongan ayat di atas
bahwa, seluruh totalitas[6]
manusia yakni seluruh arah yang mengelilingi jasmaninya sepanjang hayatnya, dan
tercakup juga fase kehidupan kejiwaannya yang di alaminya itu atas kehendak
Allah. Akan tetapi Allah tidak pernah mencampuri suatu hal dari manusia itu
sendiri dikarenakan Allah tidak akan merobah keadaan suatu orang atau kaum,
selama mereka tidak merobah sesuatu hal yang mereka tidak kehendaki.
Potongan ayat tersebut jelas juga menerangkan bahwa Allah
tidak akan mengubah nasib atau takdir suatu kaum, sebelum kaum itu mendahului
sesuatu perubahan yang dilakukan oleh kaum tersebut menyangkut sisi perubahan
yang dimaksud.[7]
Kemudian ayat tersebut juga menerangkan bahwa manusia
juga diwajibkan untuk berusaha dalam mengubah suatu takdir yang dapat dirubah,
seperti orang miskin yang harus berusaha untuk merubah keadaan sosialnya
menjadi orang kaya. Kecuali takdir yang tidak dapat diubah seperti ketetapan
kapan dan di mana seseorang akan lahir, berkelamin lelaki atau perempuan, serta
juga kapan dan di mana seseorang itu akan meninggal.
F. Pandangan Al-Qur’an
Terhadap Orang Yang Mengingkari Takdir
Pada Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 78 menjelaskan bahwa “di mana saja kamu berada, kematian akan
mendapatkan kamu, Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan
jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi
Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:
"Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun?”
Ayat tersebut menerangkan bahwa orang yang tidak
mengimani takdir, maka orang tersebut dikatakan sebagai orang munafik, karena
sebagaimana asbabun nuzul ayat tersebut menerangkan bahwa oarang-oarang munafik
dalam bertanam, mencari rezeki, berdagang dan dalam berkeluarga baik dari sisi
sanak kerabat maupun anak-anaknya mendapat kebaikan, maka mereka mengatakan
bahwa semua itu datang dari Allah swt. Akan tetapi sebaliknya bila mendapat
musibah atau keburukan mereka menyalahkan Nabi Muhammad saw. Sebagai penyebab
datangnya musibah. Lalau allah menurunkan ayat ini sebagai penegasan bahwa
musibah itu datang bukan karena Nabi Muhammad melainkan musibah itu datangnya
dari allah sebagai ujian kepada hamba-hambanya.[8]
Kemudian merujuk kepada Firman Allah berikut ini yang artinya: “apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul
kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.”(QS: An-Nisa’ : 79).
Kemudian juga turun ayat di atas yang menerangkan bahwa
nikmat yang mereka miliki itu datangnya dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpa meraka maka itu adalah suatu ujian maupun balasan dari kesalahan mereka
sendiri.
Jadi dapat kita ambil suatu pelajaran atau hikmah dari
kedua ayat tersebut ialah, bahwasanya kita sebagai orang islam wajib untuk
mengimani akan takdir yang Allah berikan serta mensyukurinya, dan kita tidak
boleh sekali-sekali mengingkari apa yang telah Allah kehendaki terhadap kita,
bahkan kita tidak boleh menyalahkan orang lain terhadap suatu musibah yang
menimpa kita karena itu merupakan perlakuan orang munafik, padahal yang pada
dasarnya semua musibah itu merupakan ujian dari Allah kepada kita, maupun semua
itu adalah balasan atau teguran Allah kepada kita atas kesalahan yang telah
kita perbuat sendiri.
G. Manfaat
Memepelajari Tentang Iman Kepada Qadha Dan Qadar
Banyak manfaat yang terkadung dalam ayat Al-Qur’an dalam
memahami iman kepada qadha dan qadar, diantaranya ialah :
1. Terhindar dari kesesatan
“Barangsiapa
yang Allah sesatkan, Maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. dan
Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan”[9]
(QS: Al-A’raf : 186)
Disesatkan
Allah berarti bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya
dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah.
Oleh karena itu manfaat yang dapat kita ambil ialah kita
terjauh dari kesesatan seperti orang-orang yang disebutkan dalam ayat tersebut,
padahal jelas di dalam ayat Allah telah banyak dijelaskan bagaimana Allah
menentukan atau menakdirkan suatu yang baik kepada makhluknya, tapi mereka
ingkar terhadap takdir tersebut. Ketika Allah berikan mereka musibah mereka
lebih menyalahkan orang lain sebagai penyebab kerugian yang mereka rasakan.
Sehingga dengan demikian mereka tidak pernah menyadari hakikat takdir itu dan
juga tidak pernah menyadari bahwa suatu musibah itu adalah ujian atau teguran
dari Allah terhadap mereka.
2. Takdir Allah Itu Baik
“dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus)
rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(QS: Al-Ankabut : 60).[10]
Dari ayat di atas dapat kita melihat bahwa takdir Allah
itu baik, berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa atau mengurus
rezekinya sendiri, Allah beri jalan untuk memberi rezeki kepadanya, salah satu contohnya
seperti rantai makanan yang telah Allah atur sehingga makhluk ciptaanya tidak
ada yang lapar, begitu pula dengan kita sebagai manusia yang telah Allah
lebihkan dari pada makhluk Allah yang lain, dengan diberikan akal untuk
berfikir dan tenaga untuk bergerak, namun ketika seorang manusia itu tidak
menggunakannya untuk mencari rezeki, maka orang tersebutlah yang salah karena
malas untuk berbuat sesuatu, sesuai dengan penjelasan di atas yang bahwa Allah
tidak akan merubah nasib suatu kaum, bila kaum tersebut tidak mau atau tidak
berusaha untuk mengubah nasibnya.
3. Dapat Membedakan Dua Jalan Yang Berbeda
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS: Asy-syam:8-10).[11]
Maka dengan kita mengimani qadha dan qadar, maka secara tidak
langsung kita telah dapat membedakan antara dua jalan yang berbeda, antaraya
ialah jalan kefasikan dan jalan ketakwaan.
Seseorang yang mensucikan jiwa akhirnya akan menjadi
orang yang bertakwa, sedangkan orang yang mengotorinya pasti akhirnya akan menjadi
orang yang fasik. Jelas di sini hubungannya dengan takdir Allah yang jelas
telah diterangkan oleh-Nya dalam penciptaan jalan kefasikan dan ketakwaan, dan
semua itu tergantung kepada kita yang memilihnya.
KESIMPULAN
Iman adalah percaya, sedangkan menurut istilah iman
adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan
tindakan atau perbuatan. Qadha berarti kehendak atau suatu ketetapan bagi
sesuatu, sedangkan Qadar merupakan wujud dari qadha atau kehendak tersebut.
Orang yang tidak mengimani akan takdir, maka orang
tersebut dikatakan sebagai orang munafik.
Manfaat memepelajari tentang iman kepada qadha dan qadar
ialah :
1. Terhindar dari kesesatan.
2. Dapat
mengetahui bahwa takdir Allah itu baik.
3. Dapat membedakan dua jalan yang berbeda.
[1] Departemen Agama RI, Al-Jumanatul ‘Ali Al-Qur’an
Dan Terjemahan, (Bandung: Cv Penerbit J-Art, 2004) hal. 100
[4] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Qadha Dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah
Takdir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), hal. 69
[8] A.Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Al-Qur’an,
Surah Al-Baqarah – An-Nas, (Jakarta
: Pt Radja Grafindo Persada, 2002), Hal
248
subhanallah , post yg bermanfaat gan. thx
BalasHapusmakasih kak, manfaat banget
BalasHapus